NUNUKAN – Sebanyak tujuh pemilik kapal rute Tawau–Nunukan akhirnya mengadu ke DPRD Nunukan akibat denda senilai Rp1,65 miliar yang diberikan Imigrasi Nunukan.
Mereka dituding Imigrasi Nunukan nekat melanggar aturan masa berlaku paspor penumpang yang tinggal 6 bulan.
Sementara kebijakan itu berbeda dengan penerapan di Malaysia, dimana paspor masa berlaku tinggal 6 bulan tetap bisa masuk asal tidak dibawah 3 bulan.
Hal ini pun disampaikan tujuh pemilik kapal dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Imigrasi dan Pengusaha Jasa Transportasi Laut di Nunukan, Selasa (17/6).
Mereka yang terkena denda pun bervariasi, diantaranya, KM Labuan Ekspress dengan 7 penumpang, sebesar Rp 350 juta, KM Purnama Ekspres dengan 7 penumpang, sebesar Rp 350 juta.
Selain itu, KM Mid East Ekspres dengan 8 penumpang, sebesar Rp 400 juta, KM Bahagia No 8 dengan 3 penumpang, sebesar Rp 150 juta, KM Nunukan Ekspress dengan 1 penumpang sebesar Rp 50 juta, KM Malindo Ekspress dengan 7 penumpang, sebesar Rp 350 juta, KM Kaltara Ekspress dengan 1 penumpang, sebesar Rp 50 juta.
Salah satu pengusaha Jasa Kapal regular rute Nunukan-Tawau, Andi Darwin mengatakan, denda yang dijatuhkan ke pengusaha kapal tidak memilki dasar, apalagi aturan Indonesia dan Malaysia berbeda sehingga pengusaha kapal tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa paspor penumpang, itu menjadi domain imigrasi negara keberangkatan, Malaysia.
“Semuanya penumpang yang kami bawa telah diperiksa dan disetujui oleh otoritas Malaysia, termasuk imigrasi dan jabatan laut di pelabuhan Tawau. Jadi di mana letak kesalahan kami?” kata Andi Darwin.
Ia menjelaskan, menurut ketentuan imigrasi Malaysia, paspor dengan sisa masa berlaku kurang dari enam bulan masih diperbolehkan untuk bepergian, asalkan tidak kurang dari tiga bulan.
Namun, peraturan imigrasi Indonesia menolak masuk bagi pemegang paspor dengan masa berlaku di bawah enam bulan. Perbedaan regulasi antarnegara tersebut dianggap menjadi akar persoalan yang merugikan pelaku jasa transportasi laut di perbatasan.
“Ada benturan aturan antarnegara, tapi yang dikorbankan justru pemilik kapal,” lanjutnya.
Para pemilik kapal juga mengungkapkan bahwa mereka hanya penyedia jasa angkutan laut, bukan pihak yang bertanggung jawab atas keabsahan dokumen penumpang, dan tidak memiliki otoritas untuk memverifikasi atau menolak penumpang berdasarkan masa berlaku paspor.
“Kami ini hanya mengangkut penumpang yang sudah mendapat izin dari pelabuhan dan imigrasi Malaysia. Tiket pun dijual oleh pelabuhan, bukan agen kami,” tambahnya.
Aspirasi ini dilayangkan lantaran denda yang dikenakan tersebut dinilai tidak adil karena para pemilik kapal tidak diberi kewenangan hukum untuk menolak penumpang yang diizinkan oleh negara asal.
“Bahkan saat kami minta surat kuasa dari imigrasi Indonesia untuk bisa memeriksa paspor, mereka tidak bisa memberikan,” tegasnya.
Selama ini, menurut pelaku usaha, otoritas Malaysia masih membenarkan penggunaan paspor dengan masa berlaku kurang dari enam bulan untuk keluar dari negaranya, sebaliknya, saat penumpang tiba di Indonesia, kapal justru didenda karena dianggap melanggar aturan.
“Kami ditindas, Harga tiket yang kami terima hanya Rp70 ribu per penumpang, sementara yang dijual pelabuhan mencapai Rp130 ribu. Beban ini makin berat karena sekarang kami harus membayar miliaran rupiah denda,” ungkapnya.
Para pemilik kapal mengaku sudah bertahun-tahun melayani rute Tawau–Nunukan dengan harga tiket yang sangat terjangkau, bahkan tidak pernah menaikkan harga tiket meskipun harga BBM naik berkali-kali.
Tanggapan Imigrasi Nunukan
Kepala Kantor Imigrasi Nunukan, Adrian Soetrisno, menegaskan bahwa pihaknya hanya mengikuti perintah Direktorat Jenderal Imigrasi terkait penagihan denda atas pelanggaran keimigrasian di wilayah Pelabuhan Nunukan.
“Jadi ada surat dari BPK yang dikirim ke Dirjen Imigrasi, menegur soal tunggakan denda di pelabuhan. Teguran itu diteruskan ke kami dalam bentuk instruksi penagihan, dan itu yang kami laksanakan,” kata Adrian.
Adrian menjelaskan, dasar hukum penagihan denda tersebut merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Dalam Pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku.
Lebih lanjut, pada bagian penjelasan pasal tersebut ditegaskan bahwa dokumen perjalanan yang sah harus memiliki masa berlaku minimal enam bulan sebelum kedaluwarsa.
Bila tidak memenuhi ketentuan ini, maka pelanggar dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda maksimal Rp 50 juta.
“Jadi konsekuensinya sudah jelas, Pelanggaran terkait masa berlaku dokumen perjalanan bisa dikenai denda. Ini sudah diatur secara tegas,” ungkap Adrian.
Ia menambahkan, hal ini merupakan bagian dari proses audit BPK secara nasional terhadap sektor keimigrasian, temuan BPK tidak hanya terjadi di Nunukan, melainkan juga di sekitar 20 pelabuhan dan bandara lainnya di Indonesia, berdasarkan data manifest yang telah dipindai dan diverifikasi oleh pihak Imigrasi.
“Data dari manifest yang kita scan terbaca oleh sistem BPK. Dari situ muncul surat teguran ke pusat dan akhirnya diteruskan ke kami. Ini adalah bagian dari pelaksanaan tanggung jawab administratif yang harus kami jalankan,” pungkas.(*)