NUNUKAN – Konflik dugaan penyerobotan lahan yang dialamatkan kepada PT Nunukan Bara Sukses (NBS) di Desa Makmur, Kecamatan Tulin Onsoi, Nunukan hingga saat ini masih terus memanas.
Namun ada yang menarik dari polemik ini, dimana sebagian besar lahan yang diduga diserobot itu ternyata milik H Abdul Hafid Achmad yang merupakan mantan Bupati Nunukan dua periode atau bupati pertama di Nunukan.
Hal ini terungkap dari jumpa pers kuasa hukum dan perwakilan warga Desa Makmur saat bertemu dengan sejumlah wartawan di kantor DPRD Nunukan, Jumat (13/6).
Dilokasi penyerobotan itu, ada sekitar 38 hektar lahan diketahui milik mantan Bupati. Namun ada 2,8 hektar yang dirusak atau diserobot dengan dalih pembuatan jalan tani oleh perusahan PT NBS.
Asyrar, warga Desa Makmur, yang menjadi saksi kepemilikan lahan milik mantan bupati, menjelaskan bahwa bermula pada 2006 lalu.
Saat itu, ada penerbitan Surat Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT) atas nama 18 orang, yang tanah tersebut diketahui milik H. Abdul Hafid Achmad.
“Dokumen ini diketahui masyarakat Sekitar, tokoh masyarakat bahkan Tokoh Adat dari desa desa tetangga, bahwa lahan tersebut milik Bapak H. Hafid,” terangnya Jumat (13/6)
Perselisihan ini dimulai pada tahun 2018-2019, ketika PT NBS membangun sebuah tersus di dekat area tanah tersebut.
Awal operasi tersus ini bejalan lancar dengan melewati lahan milik Kuarius Rooger. Namun belum lama, lahan yang dijadikan jalan itu akhirnya diblok pemilik lahan sehingga perusahan tidak bisa melewati.
“Imbas dari penutupan akses itu, perusahan ini kembali membuka jalan baru yang melewati lahan mantan bupati, serta lahan bersertifikat milik warga Desa Makmur tanpa sosialisasi dan pemberitahuan kepada pemerintah desa Makmur,” tambahnya.
Disinilah, muncul sejumlah dugaan terkait praktik penyerobotan lahan dengan dalih perusahan sudah meminta izin dengan pemilik lahan diklaim memiliki sertifikat yang dibawa oleh seorang oknum disana.
Saat itu, perusahan ini berdalih membuka jalan tani tersebut lantaran sudah ijin dengan dari pemilik-pemilik lama. Hal itu ditujukan dengan dokumen persetujuan yang ditandangani warga.
Ironisnya, klaim perusahaan ini dibantah oleh warga. Dimana, dokumen yang diajukan sebagai dasar pembangunan jalan tani ternyata tak pernah warga tandatangani.
Ketiadaan persetujuan dari pemilik asli makin memperjelas bahwa konflik ini bukan sekadar salah paham, melainkan indikasi praktik sistematis pengambil alihan lahan secara tidak sah.
“Jadi, oknum ini menjadi biang kerok permasalahan ini. Dari pengakuan warga ini bahwa tanah tersebut telah dibeli secara sah dari mantan Kepala Desa Makmur yang Pertama, bapak Usro Yusuf, dan selama ini dikelola oleh generasi-generasi yang berhak,” ungkapnya.
Menurutnya, kasus ini sudah beberapa kali dilakukan mediasi mulai dari kantor desa Makmur, kecamatan, bahkan di ruang ekonomi gedung bupati Nunukan, namun tidak membuahkan hasil.
“Padahal dari bukti-bukti yang kami punya sudah jelas dan tidak terbantahkan. Kami masih memiliki saksi hidup, pengakuan masyarakat adat, bahkan kepala desa Makmur saat ini yang juga mengetahui dan mengakui penerbitan SPPT tahun 2006 atas nama 18 orang adalah milik pak Hafid,” bebernya.
Dia menduga oknum tersebut melakukan praktik secara tidak sah dan tanpa persetujuan warga serta pemerintah desa, bahkan adanya transaksi fiktif yang melibatkan oknum tertentu dengan sifat manipulatif dan kamuflase.
“Jadi, oknum ini berusaha mengaitkan kepemilikan tanah dengan beberapa nama warga sebagai bagian dari upaya mengaburkan fakta asli,” bebernya.
Pendamping Kuasa Pak Murba yang menerima kuasa mantan bupati, Paris Balang menjelaskan bahwa imbas dari penyerobotan ini, kliennya mengalami kerugian yang tak sedikit.
“Karena, dalam lahan itu ada tanam tumbuh milik klien kami. Belum lagi tanam tumbuh yang rusak akibat pembangunan jalan. Ini jelas merugikan klien kami,” bebernya.
Selain permasalahan kepemilikan, pihaknya juga menyoroti ketidakadilan dalam proses pembangunan oleh PT NBS yang tidak melibatkan sosialisasi, mediasi, atau komunikasi terlebih dahulu kepada warga maupun pemerintah desa.
“Jadi, kegiatan perusahan ini tidak etik dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, demokrasi, serta prinsip hak asasi manusia. Mereka menuntut agar kegiatan industri di wilayah mereka dilakukan secara transparan dan menghormati hak masyarakat adat,” ungkapnya.
Dia juga meminta pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, hingga tingkat desa agar menegakkan asas keadilan, mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia, serta menghormati legitimasi kepemilikan tanah berdasarkan dokumen resmi dan pengakuan masyarakat adat.
“Kami harap agar penyelidikan serius terhadap praktik-praktik ilegal yang diduga dilakukan pihak tertentu dan menindak tegas oknum yang berperan dalam penyerobotan tanah ini,” ungkapnya.
Dia juga menegaskan terbuka dan siap bekerja sama dengan aparat dan pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini secara damai dan berkeadilan, demi keberlangsungan hidup masyarakat dan pembangunan desa yang berkesinambungan.(*)