NUNUKAN – Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nunukan kini menghadapi kondisi krisis sumber daya manusia (SDM) yang mengkhawatirkan. Sebab, puluhan tenaga kesehatan dan staf administrasi kini resmi mengundurkan diri.
Hal itu disebabkan mereka sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun 2024 telah dinyatakan lulus dan sudah menerima SK.
Totalnya ada 52 orang pegawai. Dimana, 41 orang tercatat tak lagi bertugas di RSUD Nunukan karena formasi penempatan mereka berada di instansi berbeda, sesuai pilihan saat pendaftaran.
Mereka terdiri dari 20 tenaga kesehatan (4 CPNS dan 16 PPPK) serta 18 pegawai non-kesehatan (PPPK), sebagian besar dari bagian administrasi.
Sementara 11 orang dari total kelulusan yang tetap mengabdi di RSUD, yakni 2 CPNS dan 9 PPPK dari tenaga kesehatan.
Kepala Subbagian Kepegawaian dan Pengembangan SDM RSUD Nunukan, Nurul Riskia Utami, menyampaikan bahwa pengurangan jumlah pegawai tersebut langsung berdampak pada operasional layanan, terutama di ruang rawat inap dan ruang intensif (ICU).
“Di ICU kami ada delapan tempat tidur, tapi hanya empat perawat yang tersedia. Idealnya, satu pasien ditangani satu perawat, terutama di ruang intensif,” ujar Nurul.
Jika pun diberlakukan per shift, dia menilai jumlah perawat saat ini pun tak mencukupi. Kondisi ini juga terjadi di ruang rawat inap biasa, sehingga membuat beban kerja semakin tinggi bagi tenaga medis yang masih bertugas.
“Jadi, tidak hanya perawat, jumlah dokter pun berkurang. Kini hanya ada tiga dokter aktif yang harus berbagi tugas di ruang rawat inap dan UGD, dari sebelumnya empat orang,” pungkasnya.
Untuk menanggulangi kekosongan ini, pihak RSUD saat ini tengah menyusun telaahan staf, sebuah dokumen formal yang merinci kebutuhan pegawai di seluruh unit pelayanan. Dokumen ini akan menjadi dasar untuk pengajuan penambahan tenaga kerja kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Nunukan.
“Kita kordinasi dan mengikuti arahan Dinkes untuk mengajukan telaahan lengkap, baik untuk tenaga kesehatan maupun pegawai administrasi,” jelas Nurul.
Namun begitu, dia menegaskan bahwa proses ini tak lepas dari kendala struktural. Sebab, RSUD Nunukan tak lagi menggunakan skema keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), sehingga kini seluruh pengeluaran pegawai harus disesuaikan dengan anggaran dari APBD, yang terbatas dan diawasi ketat.
“Selain itu, masih ada kebijakan pembatasan rekrutmen tenaga honorer yang berlaku secara nasional, menyulitkan rumah sakit untuk mengisi kekosongan secara cepat,” tambahnya.
Terlepas dari semua itu, pihaknya mengaku tetap berkomitmen memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat. Meski dihadapkan pada tantangan besar, RSUD Nunukan tetap membuka layanan untuk masyarakat dengan segenap tenaga yang tersisa.
“Kami berusaha sebaik mungkin untuk tetap memberikan layanan, walaupun dalam keterbatasan. Ini tidak mudah, tapi semangat kami tetap sama — melayani masyarakat,” tegas Nurul.
Kondisi ini memperlihatkan pentingnya perencanaan SDM yang lebih baik di sektor pelayanan publik, khususnya kesehatan, agar dampak dari mobilitas pegawai tidak mengganggu layanan vital bagi masyarakat, apalagi di wilayah perbatasan seperti Nunukan.(*)