NUNUKAN – Menanggapi persiapan pemilik kapal yang didenda Imigrasi senilai Rp1,65 miliar, sejumlah anggota DPRD Nunukan justru mengambil kritikan terhadap kinerja Kantor Imigrasi Nunukan.
Sebab, sejumlah anggota DPRD Nunukan menilai bahwa kebijakan denda yang diberikan tersebut salah alamat dan perlu ditinjau ulang
Seperti diungkapkan. Anggota DPRD Nunukan, Gat Khaleb, menyatakan bahwa persoalan denda ini berakar dari tumpang tindih aturan mengenai masa berlaku (validity) paspor antara Indonesia dan Malaysia.
Menurutnya, hal ini seharusnya menjadi bahan evaluasi oleh Imigrasi dalam menyusun laporan ke pusat.
“Kalau melihat wewenang, keluar-masuk orang asing itu domain Imigrasi, bukan pemilik kapal. Pemilik kapal tidak punya otoritas memverifikasi paspor penumpang. Sangat mungkin denda ini salah alamat,” tegasnya.
Gat menambahkan, kondisi di perbatasan seperti Nunukan tidak bisa disamakan dengan daerah lain, seluruh pasokan kebutuhan hidup masyarakat diambil dari wilayah Malaysia, sehingga aktivitas lintas batas harus dipahami dalam konteks keterdesakan ekonomi.
“Jangan lihat hitam putihnya saja. Kita ini berjuang hidup dari barang yang kita datangkan dari seberang. Jangan samakan perbatasan negara dengan Jakarta,” ujarnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Andre Pratama bahwa dia menilai logika masyarakat perbatasan sangat masuk akal, semua penumpang kapal telah melalui pemeriksaan Imigrasi sebelum naik ke atas kapal.
“Pemilik kapal hanya mencocokkan nama tiket dengan manifest. Kalau ada paspor yang tidak valid, itu seharusnya dihentikan oleh petugas Imigrasi sejak awal,” kata Andre.
Andre menyoroti lemahnya respons Imigrasi atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Imigrasi seharusnya menggunakan hak jawab dan menjelaskan duduk perkara perbedaan regulasi antara Indonesia dan Malaysia.
“Jangan langsung akui kesalahan dan bayar dendanya, agar BPK turun lapangan dan lihat langsung kondisi riil di Nunukan, Ini soal logika, bukan hanya soal aturan kaku,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPRD Nunukan Sadam Husein, juga angkat bicara dalam RDP tersebut, menurutnya kebijakan denda ini bentuk ketidakadilan, negara yang seolah-olah mencari celah untuk memungut uang dari rakyat kecil.
“Kalau aturannya seperti ini, Imigrasi juga harus kena denda karena lalai, Masa rakyat yang dihukum, sementara yang bertanggung jawab atas pengawasan malah lepas tangan?” sebutnya.
Sadam juga menceritakan pengalamannya ketika dideportasi oleh Malaysia akibat masuk daftar hitam, Ia tidak didenda, melainkan hanya dipulangkan ke Indonesia menggunakan kapal lain.
“Kenapa kita tidak bisa bersikap seperti itu juga? Jangan sampai kesannya negara justru memeras warganya sendiri,” ujarnya.
Ketua Komisi I DPRD Nunukan, Andi Mulyono, menilai bahwa permasalahan ini merupakan kekeliruan logika hukum, kejadian tersebut seperti mempidanakan penjual pisau karena pisau yang dijual digunakan untuk kejahatan.
“Ini soal aturan validity yang tidak seragam antarnegara, dan kita perbatasan, bukan daerah biasa. Harus ada evaluasi menyeluruh dan pembahasan lebih lanjut,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa DPRD Nunukan merekomendasikan agar Kantor Imigrasi membuat laporan hasil pertemuan ini kepada Dirjen Imigrasi. Selain itu, DPRD meminta pengusaha kapal untuk tidak membayar denda sampai ada kejelasan hukum.
“Kita akan bersama-sama ke Dirjen Imigrasi, bawa persoalan ini langsung ke pusat. Kami akan kawal permasalahan ini, karena menyangkut hak dan keadilan masyarakat Nunukan,” tutupnya.(*)
This website uses cookies.