NUNUKAN, borderterkini.com – Desakan penyelesaian konflik agraria di wilayah perbatasan hingga kini terus disuarakan di pusat.
Hal itu dilihat dari puluhan masyarakat adat di wilayah IV Nunukanmendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta pada Rabu (22/10).
Audiensi resmi yang berlangsung di Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat KLHK, itu turut didampingi Anggota DPRD Kabupaten Nunukan, Donal S.Pd.
Dalam pertemuan tersebut, ia menegaskan bahwa negara tidak boleh membiarkan rakyatnya dikalahkan oleh kepentingan korporasi.
“Negara harus menunjukkan keberpihakan kepada keadilan. Persoalan agraria di Nunukan tidak bisa terus dibiarkan berlarut. Rakyat butuh kepastian hukum atas ruang hidup mereka,” tegas Donal.
Menurutnya, penyelesaian konflik agraria di perbatasan berjalan sangat lamban. Sementara masyarakat adat yang sudah turun-temurun mendiami wilayah tersebut justru mengalami tekanan akibat ekspansi perusahaan pemegang izin konsesi.
“Dalam banyak kasus, masyarakat yang tinggal puluhan tahun tiba-tiba dianggap masuk dalam kawasan konsesi perusahaan. Akibatnya mereka tidak bisa mengurus legalitas tanah, tidak mendapatkan akses pembangunan, dan selalu berada dalam posisi tertekan,” ujarnya.
Donal juga menyoroti konflik yang hingga kini belum menemukan solusi, salah satunya antara masyarakat dengan PT Adindo Hutani Lestari (AHL). Persoalan tersebut telah melewati berbagai upaya mediasi, namun tidak membuahkan hasil nyata.
“Ini bukan soal menang kalah, tapi soal keadilan. Jangan sampai negara terkesan memberi ruang terlalu besar kepada perusahaan, sementara aspirasi masyarakat justru diabaikan,” tegasnya.
Ia mendesak KLHK segera turun meninjau lapangan agar memperoleh data faktual dan tidak hanya menerima laporan secara administratif.
“KLHK tidak cukup hanya menerima laporan di meja. Kami meminta mereka turun ke lokasi untuk melihat langsung bagaimana masyarakat hidup dalam ketidakpastian di tanahnya sendiri,” ujarnya.
Dalam audiensi tersebut, Donal juga mengusulkan pembentukan tim investigasi yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat, DPR RI, pemerintah daerah, hingga perwakilan masyarakat adat.
Selain itu, DPRD Nunukan juga akan mendorong rekomendasi resmi kepada KLHK, Kementerian ATR/BPN, serta Komisi IV DPR RI untuk mengevaluasi izin perusahaan yang memicu konflik agraria.
“Negara harus hadir. Tidak boleh ada lagi masyarakat yang kehilangan haknya hanya karena lemah secara administrasi. Hukum harus berpihak pada kebenaran, bukan pada modal,” tegasnya.
Dalam forum tersebut, perwakilan masyarakat adat menegaskan bahwa mereka tidak menolak investasi. Mereka hanya menuntut penghormatan terhadap hak-hak masyarakat sebagai pemilik sah tanah adat.
“Kami bukan anti investasi. Kami hanya ingin hidup layak dan dihormati sebagai pemilik tanah adat kami,” ujar salah satu perwakilan.
Donal menutup pernyataannya dengan nada emosional. Ia menggambarkan penderitaan masyarakat adat yang selama ini berjuang mempertahankan tanah mereka.
“Di sana ada ibu-ibu yang menangis karena kebunnya digusur. Ada petani yang ditahan karena membela tanahnya. Ada anak-anak yang tumbuh tanpa tahu apakah rumah yang mereka tinggali hari ini akan digusur besok,” ungkapnya.
Baginya, konflik agraria bukan hanya urusan sengketa tanah, tapi soal martabat rakyat dan kedaulatan negara.
“Jangan biarkan air mata rakyat jatuh sia-sia di tanah yang seharusnya menjadi milik mereka. Jangan biarkan mereka hidup dalam ketakutan di negeri sendiri. Selama rakyat masih berjuang mempertahankan haknya, kami akan berdiri bersama mereka sampai akhir,” tutup Donal.(*)







